Minggu, 30 Agustus 2009

Wanita jauh lebih kuat

Alhamdulillah, hari ini bisa pulang cepat, sampai dirumah pas banget waktunya buka puasa.
Kebetulan bawa makanan untuk berbuka puasa, tapi dirumah tidak ada makanan lain, maklum hidup sendirian alias bujang lokal

Sambil berbuka, masak nasi dulu, setelah itu ditinggal sholat maghrib.
Selesai sholat masih belum ada apa apa yang bisa dijadikan pengganjal perut, nasi juga belum masak, sambil menunggu, masak mie goreng , setelah itu cari di lemari es, masih ada daging kaleng, jadi tinggal di goreng aja.

Sementara nunggu, aduk dulu secangkir teh tarik ..... hmmm

Setelah semua selesai, duduk sebentar menikmati teh tarik.....
ternyata tanpa terasa sudah satu jam, padahal yang dibuat ya cuman itu aja....
Sebentar lagi sudah waktunya sholat isya, mumpung dirumah, sholat Tarawih di masjid.

Pulang Tarawih, baru menikmati hidangan yang sudah tersedia..ditambah sambel korek...wahhh....nikmat sekali meski apa adanya...

Dibalik itu , terpikirkan, ternyata untuk menyiapkan hidangan untuk satu orang saja begitu lama, dan lumayan melelahkan, karena tidak terbiasa, belum lagi nyuci peralatan..

Jadi teringat, bagaimana seorang istriku,
Pagi pagi sudah menyiapkan sarapan, menyiapkan anak anak untuk sekolah, berangkat kerja, pulang kerja masih disibukkan dengan persiapan makan malam dan beberapa pekerjaan rumah...

Ternyata berat sekali menjadi seorang ibu rumah tangga.........

Wahai Dzat Yang Maha Perkasa Kutitipan anak istriku kepadaMu, Jagalah mereka Ya Allah Seperti Engkau telah menjaga Ismail dan ibunya Di tengah gurun pasir tiada bertepi.

Ya Allah, Dampingi istriku , agar kemudian Engkau akan menguatkan hatinya, melapangkan dadanya.


Do'anya nyontek dari tuan sufi di [sini] dari hasil blogwalking


Selasa, 25 Agustus 2009

Aku tak akan pernah terangsang oleh bidadari yang dungu

Rating:★★★★
Category:Other
Di hadapanku duduk perempuan yang sudah berbulan-bulan menjadi  misteri bagiku. Dan dia benar-benar di luar dugaan.
Sosoknya, perilakunya, pikiran-pikirannya, semua di luar  bayanganku. Karena tak siap menghadapi figur yang  benar-benar tidak pernah terselip dalam angan-anganku,  akulah yang gelagapan, kehilangan kata-kata, dan jadi bisu.
Yang bisa kulakukan Cuma memandanginya dan menunggunya  bicara.
              
 “Jangan pernah kau tinggalkan dia,” katanya, setelah  menghembuskan asap rokok. Ruangan itu hampir saja pengap  oleh asap rokok dan beberapa botol minuman beralkohol sempat  kulihat menggelinding di kolong tempat tidur.
          
Mungkin dialah yang akan meninggalkan  aku,” sahutku setengah putus asa, setengah mengakui  kelemahan dan kekalahanku.
          
 “Dia memerlukan kamu.”
          
Tapi dia lebih bahagia berada di  dekatmu.
          
 “Itu hanya tampaknya, cuma seolah-olah.  Tidak akan begitu kalau aku menempati posisimu.
          
 “Barangkali dia menginginkan kita  berdua.”
          
 “Kalau kau tak keberatan, aku juga  tidak. Tapi jangan sekali-kali kau tinggalkan dia. Aku tidak sanggup menempati posisimu dan aku juga tidak yakin kalau  hal itu yang dia inginkan.”
              
Perempuan itu berkata dengan nada yang penuh kepastian dan  kepercayaan diri. Dia jelas menginginkan suamiku, tapi dia  bersikap seolah-olah tak punya beban apa-apa kalau sekarangsuamiku meninggalkannya. Rasa marahku sudah hampir hilang, meski rasa cemburu justru makin menguat. Aku cemburu berat,  sebab dia ternyata bukan perempuan biasa, bahkan sama sekali  berbeda denganku.
              
Intuisiku tentang adanya perempuan lain dalam hidup suamiku  muncul beberapa bulan yang lalu. Padahal sebelumnya, aku  tahu persis bahwa kami adalah pasangan ideal yang harmonis.
Kami dikaruniai anak-anak yang manis. Kami masing-masing  punya karier yang mantap di tempat kerja, dan kami memiliki  beberapa kesamaan hobi.
              
Tiba-tiba saja kemapanan itu terusik ketika suatu malam,  saat kami bercinta, suamiku mendesahkan sebuah nama, bukan  namaku. Gairahku langsung anjlog. Lalu kami berdua tertunduk  sambil termangu di keremangan kamar tidur. Masih dalam  keadaan bugil bermenit-menit kami begitu, rasanya seperti  berabad-abad. Agaknya kami saling menunggu siapa yang akan  mulai bicara. Akhirnya aku meringkuk di kaki tempat tidur  anakku, dan suamiku masih terduduk di tempat tidur sampai  pagi.

Baru beberapa hari kemudian suamiku bicara.
   
 “Maafkan aku. Aku mencintai orang  lain.”
          
Aku diam
         
 “Tapi itu bukan berarti aku tak  mencintaimu lagi. Aku tetap cinta kamu, Ma.”
          
  “Mungkinkah itu? Mencintai dua perempuan  sekaligus?
          
 “Ah, seandainya kau berada dalam posisi  seperti aku, kau baru akan percaya.”
          
 “Siapa perempuan itu?
          
 “Sebaiknya kau tak perlu tahu. Aku sudah  terus terang. Aku masih berharap perkawinan kita tetap terus, dan aku masih ingin terus bercinta denganmu. Tapi tentu saja kau juga boleh memiliki pendapat yang lain.”

Aku  jengkel, marah, dan uring-uringan. Aku tidak tahu harus  memutuskan bagaimana. Haruskah aku minta cerai saja sebab ia  berselingkuh? Betapa banyak yang harus kukorbankan, termasuk anak-anak. Aku tidak siap menjanda, dan aku amat membutuhkan dia. Membiarkannya saja? Alangkah menyakitkan! Setiap kali kami bercinta, aku akan selalu teringat perempuan lain yang juga diperlakukannya seperti itu di malam-malam yang lain.

Tanpa setahu suamiku, aku berusaha mencari tahu siapa gerangan  perempuan itu. Orang akan sulit percaya kalau suamiku  berselingkuh. Selain dia terkenal alim, aku juga bukan istri yang mengecewakan. Aku cukup cantik, pandai merawat badan, selalu tampil rapi dan segar. Rajin melayani suami di meja makan dan di tempat tidur, bahkan aku bisa dibanggakan di kalangan bisnis suamiku. Dalam bayanganku, perempuan lain itu pasti seseorang yang lebih muda dari aku, lebih seksi, lebih piawai di tempat tidur, lebih berpendidikan, atau lebih mahir dalam pengabdian dan pelayanan terhadap lelaki.
Mula-mula aku mencurigai sekretarisnya, tapi setelah mendapat cukup bukti, ternyata bukan. Aku lantas mengalihkan perhatian kepada rekan-rekan bisnis yang sering dijumpainya, tapi sekali lagi aku tak bisa menemukan bukti apa-apa.

Akhirnya sasaranku kuarahkan kepada mahasiswi yang mondok di depan rumah. Tapi semua penyelidikanku gagal total sebab   kecurigaanku tidak terbukti.
              
Kemudian aku membaca sebuah nama di koran. Nama yang terucap dari mulut suamiku secara tak sengaja di ambang orgasme malam hitam itu, nama tanpa wajah yang terus saja mengganggu benakku. Namun identitas perempuan itu semakin jelas ketika kuperhatikan suamiku - di luar kebiasannya - suka menyimak halaman budaya di koran atau seringnya dia menghadiri pameran-pameran lukisan di kota. Ternyata perempuan itu seorang seniman. Alamatnya kudapat, kemudian aku bermaksud melabraknya!
              
 “Sejak kapan kamu berhubungan dengan suamiku?”
          
Ketika perusahaannya ikut mensponsori pameran kami, para pelukis wanita,” katanya. Aku masih sulit memahami, apa yang menarik  dari wanita itu. Dia lebih tua dari aku, hal itu bahkan tampak jelas dari wajahnya yang tak ber-make up. Dandanannya sederhana, bahkan terkesan seenaknya. Dia sama sekali tidak seksi. Dan rumahnya….. bagaimana aku bisa membayangkan suamiku bisa kerasan berada di tempat macam begini? Perempuan ini seperti tidak mempunyai apa pun yang dapat dibandingkan denganku.

Apakah suamiku ibarat kucing yang meski sudah diberi dendeng di rumah, tapi masih saja menyantap tulang ikan di tong sampah? Aku tak percaya. Aku selalu berpikir suami-suami yang berselingkuh itu pasti menemukan sesuatu yang bisa memenuhi dan melengkapi kekurangan-kekurangan istri mereka.
              
 “Apakah suamiku pernah menjanjikan sesuatu?”
          
Dia Cuma bilang, dia melakukan affair ini dengan penuh kesadaran. Ketika kutanya apa maksudnya, dia bilang, dia siap resikonya. Aku juga pernah tanya, “Bagaimana seandainya isterimu tahu?” Dia menjawab, dia akan minta maaf kepadamu. Lalu apa boleh buat, keputusan ada di tanganmu. Bahkan seandainya kamu minta cerai, dia akan mengabulkan.”

 Aku serasa ditempeleng. Suamiku siap kalau aku minta cerai. Dia siap mengorbankan aku, istrinya, demi perempuan jelek dan urakan ini? Aku menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Kalau kuturuti emosi, tentu sudah kutendang suamiku - demi harga diri! Tapai aku tak mau kalah begitu saja.
              
 “Lalu apa harapanmu sebenarnya?” tanyaku lebih lanjut.
          
Aku tak punya target apa-apa,” jawabannya enteng.
          
Apakah kamu tidak menyadari bahwa kelakuanmu merusak rumah tanggaku?
          
Kebetulan aku di antara orang yang percaya bahwa kesetiaan pada seorang saja, seumur hidup, itu nonsense dan sama sekali tidak manusiawi. Aku juga tak percaya kau tak pernah tertari pada lelaki lain.

Kurang ajar betul mulut perempuan itu. Kata-katanya cukup tajam tapi jalan pikirannya jelas dan tegas. Aku mengharapkan seorang gadis muda yang akan menangis sambil memohon-mohon maaf di bawah kakiku, lalu berjanji menghentikan affair-nya dengan suamiku; tapi yang kutemui justru sebuah karakter yang tahu betul apa yang dimaui dan dilakukannya.
              
 “Kata suamimu, kau bebas memilih hidupmu. Kalau affair kami tak membahagiakan kamu, kamu berhak mencarinya di tempat lain. Tapi kalau kamu mencintainya dan merasa bahagia bersamanya, kamu tentu harus menerima dia apa adanya; kekuatan dan kelemahannya, termasuk affair-affair-nya.”
          
Suamiku tidak pernah punya affair,” kataku keras.
          
Sekarang dia punya. Kamu harus belajar menghadapi kenyataan itu.” Lagi-lagi perempuan itu menghisap rokoknya. Bibirnya biru dan tampaknya dia tak mau repot memolesnya dengan lipstik. Akhirnya, meski sebetulnya sangat malu dan gengsi, namun karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar, aku nekat menanyakan sesuatu yang kuanggap penting.
              
 “Kenapa suamiku memilih kamu? Apa kira-kira kekuranganku?
          
Perempuan itu menatapku agak lama. Mematikan puntung rokoknya, lalu berlagak embersihkan beberapa lukisannya yang berdebu.
          
Kamu nyaris sempurna. Kamu pintar, tampaknya. Menarik, pandai memasak, dan masih tangkas di tempat tidur. Tapi belakangan ini suamimu sepertinya kehilangan kamu. Kalian tak lagi tertawa bersama.
          
Tertawa?” Aku keheranan mendengarkan alasan yang kesannya mengada-ada itu.
          
Ya, asal kau tahu aja. Kami banyak tertawa di rumah ini. Bahkan kami jarang sekali bercinta.
 Biasanya karena dia capek, atau aku yang merasa lelah. Lalu kami cuma berbaring dan saling cerita. Sudah itu kami tertawa-tawa. Kata suamimu, enak juga hidup bersama seniman.
Tidak harus mandi pada pukul sekian, memenuhi janji dengan rekan bisnis, atau terburu-buru saat makan siang sebab akan ada rapat direksi. Semua itu tak ada di rumah ini. Kami senantiasa rileks. Aku suka bercerita tentang mitos-mitos Yunani kuno atau juga legenda-legenda tua, dan suamimu akan mendengarkannya sampai tertidur. Apakah enak jadi seniman, aku tak pernah membandingkannya dengan yang lain. Menjadi orang seperti kamu mungkin enak juga tapi aku belum pernah ingin menjadi yang lain.”
              
Diam-diam aku membanding-bandingkan penampilanku dengannya. Aku masih memakai rok dan blazer eksekutif, yang umumnya dikenakan wanita pekerja keras menengah di perkotaan. Hampir-hampir tak ada debu menempel di baju atau wajahku. Sedang dia, jinsnya itu mungkin sudah seminggu tak di cuci, dan rambutnya tentu lupa disisirnya sejak pagi tadi. Setelah kuamati agak lama, perempuan itu sebetulnya manis juga. Wajahnya memang kelihatan lebih tua dari aku, tapi polos tanpa make-up, seolah mengesankan ia gadis remaja yang kekanak-kanakan. Rambutnya panjang lurus, sedang rambutku dipotong pendek model wanita karier yang mutakhir.
Jari-jarinya lentik dan kuku-kukunya pendek, badannya kecil.
              
Setelah mencoba memahami karakter suamiku, rasanya aku mulai melihat sesuatu dalam diri perempuan itu. Perempuan itu cerdas, hal yang disukai suamiku. Dia pernah bilang, “Aku tak akan pernah terangsang oleh bidadari yang dungu.”

Dan perempuan itu juga kelihatan menyenangkan. Rileks, barangkali itu kuncinya. Betapa hari-hari kami selalu diburu waktu, dan hidup kami diatur jadwal dan agenda kerja. Kami bahkan harus janjian untuk bisa makan malam bersama beberapa kali dalam seminggu.

 “Apa yang akan kau lakukan?” tanya perempuan itu.
          
“Kau sendiri, apa yang ingin kamu kerjakan?” tanyaku berusaha menguasai situasi.
          
 “Entahlah, aku tak pernah memprogram hidupku. Aku mengalir seperti air.”
          
Enak saja dia bilang begitu.
          
 “Bagaimana kalau aku minta suamiku meninggalkan kamu dan dia mau?”       
 “Silakan saja, “ jawabnya cuek.
          
 “Kamu tidak mencintai suamiku, kan?”             

 Tergantung definisi cinta itu apa. Aku senang berada di dekatnya, tapi sesungguhnya aku tidak  terlalu membutuhkannya.”
          
 “Anak-anakku membutuhkannya,” kataku tegas.
          
 “Tidak bisakah kamu mengizinkan kami memiliki affair ini?”

Aku tersenyum secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya, di balik nada suaranya yang diatur seolah-olah biasa, ternyata terbaca juga harapan dan rasa ketertarikannya pada suamiku. Dia ternyata berhati perempuan juga. Kutatap wajah perempuan itu lekat-lekat dan terbayang dalam anganku bahwa dia hidup sebagai maduku. Sulit kujawab sekarang, aku perlu waktu.
Aku pamit.

Itulah masa dua jam yang paling menegangkan dalam hidupku. Aku berhadapan dengan perempuan suamiku, dan ternyata tidak mudah. Tapi setidaknya perempuan itu bukan lagi misteri. Sekarang tinggal aku yang menentukan, apakah dia akan kuterima dalam hidup kami, atau kupaksa dia pergi, atau aku saja yang pergi.

Entahlah!

Sumber : Email dari seseorang yang bukan madu-ku
Judul asli Perempuan suamiku
Reminder untuk Istri dan Suami

Sabtu, 22 Agustus 2009

Terimakasih, maaf lahir batin, assalamualaikum wr wb

Dalam keseharian, ucapan terimakasih. seolah sudah menjadi bagian dari percakapan .
Terlebih dalam lingkup profesi sebagai pelayan, apalagi setelah setelah meminta tolong, atau berkomunikasi baik melalui telephone ataupun langsung, memang lebih nyaman mengakhirinya dengan ucapan terimakasih.

Suatu saat saya bertemu dengan seseorang yang kemudian kami sering berdiskusi.
Ada hal yang paling indah yang membuat saya selalu terkenang dan ingin sekali mengikutinya.

Diakhir pembicaraan kami, dia selalu mengatakan, " maaf lahir batin ya"
awalnya saya sempat bertanya, "apanya yang salah?"
Menurutnya, mungkin selama berinteraksi, ada hal hal yang meski sedikit membuat ketidaknyamanan, sehingga tidak ada salahnya meminta maaf.

Saya pikir benar juga....,
hingga akhirnya, kalimat itu seperti menjadi sebuah standard, begitu kami mengakhiri pembicaraan, seolah saling berebut menyampaikan, "terimakasih ya....maaf lahir batin..assalamualaikum"

Kenapa kita tidak budayakan saja, meminta maaf  tidak harus menunggu hari raya Idul Fitri, atau menjelang Ramadhan,
setiap saat ada kemungkinan kita berbuat salah, dan belum tentu kita akan bertemu Ramadhan atau Iedul Fitri berikutnya.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Batu itupun,sebuah nikmat

Rating:★★★
Category:Other
Dikisahkan, seorang mandor bangunan yang sedang bekerja di sebuah gedung bertingkat, suatu ketika ia ingin menyampaikan pesan penting kepada tukang yang sedang bekerja di lantai bawahnya. Mandor ini berteriak-teriak  memanggil seorang tukang bangunan yang sedang bekerja di lantai awahnya, agar mau mendongak ke atas sehingga ia dapat menjatuhkan catatan pesan.
Karena suara mesin-mesin dan pekerjaan yang bising, tukang yang sedang bekerja di lantai bawahnya tidak dapat mendengar panggilan dari sang Mandor. Meskipun sudah berusaha berteriak lebih keras lagi, usaha sang mandor tetaplah sia-sia saja.

Akhirnya untuk menarik perhatian, mandor ini mempunyai ide melemparkan koin uang logam yang ada di kantong celananya ke depan seorang tukang yang sedang bekerja di lantai bawahnya. Tukang yang bekerja dibawahnya begitu melihat koin uang di depannya, berhenti bekerja sejenak kemudian mengambil uang logam itu, lalu melanjutkan pekerjaannya kembali.

Beberapa kali mandor itu mencoba melemparkan uang logam, tetapi tetap tidak berhasil membuat pekerja yang ada di bawahnya untuk mau mendongak keatas.

Tiba-tiba mandor itu mendapatkan ide lain, ia kemudian mengambil batu kecil yang ada di depannya dan melemparkannya tepat mengenai seorang pekerja yang ada dibawahnya. Karena merasa sakit kejatuhan batu, pekerja itu mendongak ke atas mencari siapa yang melempar batu itu. Kini sang mandor dapat menyampaikan pesan penting dengan menjatuhkan catatan pesan dan diterima oleh pekerja dilantai bawahnya.

Sahabat yang baik, untuk menarik perhatian kita manusia sebagai hambaNya,
Allah seringkali menggunakan cara-cara yang menyenangkan, maupun kadangkala dengan pengalaman-pengalam an yang menyakitkan.
Allah seringkali menjatuhkan "koin uang" atau memberikan kemudahan rejeki yang berlimpah kepada kita manusia, agar mau mendongak keatas, mengingatNya, menyembah-Nya, mengakui kebesaran-Nya dan lebih banyak bersyukur atas rahmat-Nya. Tuhan seringkali memberikan begitu banyak berkat, rahmat dan
kenikmatan setiap harinya kepada kita manusia, agar kita mau menengadah kepada-Nya dan bersyukur atas karunia-Nya. Namun, sayangnya seringkali hal itu tidak cukup membuat kita manusia untuk mau mendongak keatas, mengingat kebesaran-Nya, menengadah kepada-Nya, mengagungkan  nama-Nya dan bersyukur atas rahmat-Nya.

Karena itu, kadang-kadang Tuhan menggunakan pengalaman-pengalam an menyakitkan, seperti musibah, kegagalan, rasa sakit, kelaparan dan berbagai pengalaman menyakitkan lainnya untuk menarik perhatian manusia agar mau mendongak keatas. Menarik perhatian untuk mau menengadah kepada-Nya, menyembah kepada-Nya, mengakui  kebesaran-Nya dan bersyukur atas rahmat-Nya. Dengan demikian, pengalaman-pengalam an menyakitkan yang kadang kala diterima manusia, hendaknya diterima sebagai peringatan dari Tuhan untuk menarik perhatian kita.
Hendaknya hal itu membuat kita semakin mempererat hubungan dengan Allah atau "habl min Allah." Hendaknya hal itu mengajarkan kita untuk mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah, dan menyadarkan kita adalah makhluk-Nya yang sangat lemah dan tidak berdaya.

Sahabat yang baik, sudah begitu banyaknya rahmat dan berkah Allah senantiasa mengalir setiap detiknya kepada kita semua manusia. Seperti memiliki pekerjaan yang baik, memiliki kesehatan yang kita rasakan, kelengkapan panca indra yang menopang kehidupan kita, mendapatkan rejeki yang kita nikmati setiap hari, keluarga yang bahagia yang kita miliki dan lain sebagainya. Semua itu sesungguhnya adalah rahmat dan berkah dari Allah SWT yang tak ternilai harganya.

Kini apakah Anda akan segera menengadahkan wajah kepada-Nya, ataukah menunggu Allah menjatuhkan "batu" kepada kita?

SEMOGA BERMANFAAT!

***Eko Jalu Santoso adalah Founder Motivasi Indonesia dan Penulis Buku
"The Art of Life Revolution" dan Buku "Heart Revolution: Revolusi Hati Nurani Menuju Kehidupan Penuh Potensi"

Jumat, 07 Agustus 2009

Mengenalmu, bagian terbaik dalam hidupku

Status (atau profesi) yang paling membuatku kagum adalah  guru
setiap saat kalimatnya penuh makna, dan yang lebih membuat istimewa

Ketika apa yang dia ucapkan dilakukan oleh yang mendengar, disampaikan lagi kepada orang lain, dilaksanakan oleh orang lain, demikian seterusnya

sungguh sebuah kemuliaan yang tak akan ada habisnya

Benarkah seorang guru hanya ada didepan kelas?

Seorang musuh besar besar pun dapat menjadi guru jika kita mampu melihat kelebihan yang dimilikinya.

Bahkan apa yang kita alami, jika kita menyadarinya, adalah guru yang paling berharga

Rangkaian kata dari salah satu "guru" :

Kita memohon diberi Kekuatan..., dan ALLAH memberikan Kesulitan agar membuat kita Kuat...

Kita memohon agar menjadi Bijaksana..., dan ALLAH memberi kita Masalah untuk diselesaikan...

Kita  memohon Kekayaan..., dan ALLAH memberi kita Bakat, Waktu, Kesehatan dan Peluang .

Kita memohon Keberanian…, dan ALLAH memberikan kita hambatan untuk dilewati.

Kita memohon Rasa Cinta..., dan ALLAH memberikan orang orang bermasalah untuk dibantu.

Kita memohon Kelebihan..., dan ALLAH memberi kita jalan utk menemukannya.

Kita tidak menerima apapun yang kita minta.., akan tetapi kita menerima semua yang kita butuhkan

Tks buat guru guruku yang masih bersama maupun yang sudah meninggalkanku




 

sebaik-baik kesenangan di dunia ini adalah istri yang salehah

Rating:★★★★★
Category:Other
Kamis, 06 Agustus 2009 pukul 01:29:00

Teladan Ummu Sulaim


Oleh Rifqi Fauzi

Dalam sebuah hadis, Anas menceritakan tentang keluarga Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. Pasangan ini dikaruniai seorang anak yang dipanggil dengan nama Abu Umair.

Suatu hari, Umair sakit parah, sampai meninggal dunia. Sementara Abu Thalhah sedang tidak berada di rumah. Ummu Sulaim pun memandikan, mengafani, dan menutupkan pakaian kepadanya, seraya berkata kepada khalayak.

''Jangan ada seorang pun yang memberitahukan hal ini kepada Abu Thalha, Biarkanlah aku sendiri yang akan mengabarkannya.'' Ketika Abu Thalhah pulang, Ummu Sulaim menyambutnya dengan tubuh yang sudah wangi dan berdandan. Dia pun telah menyiapkan hidangan makanan untuknya.

Sebagai bapak yang sudah lama bepergian, Abu Thalhah merasa rindu kepada anaknya. Dia pun bertanya, ''Abu Umair, sedang apa?''

''Makanlah dulu, lalu istirahatlah!'' jawab Ummu Sulaim.
Abu Thalhah pun menurutinya. Sehabis makan, dia beristirahat. Di tempat tidur, istrinya bertanya. ''Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu, jika suatu keluarga dipinjami suatu benda oleh keluarga lain. Kemudian, si pemilik benda tersebut meminta untuk mengembalikannya. Apakah keluarga tersebut akan mengembalikannya atau menahannya?''

''Tentu harus dikembalikan kepada pemiliknya,'' jawab Abu Thalhah. Lalu Ummu Sulaim berkata, ''Kalau begitu, mohonlah pahala atas kematian Abu Umair, karena sesungguhnya Allah hanya menitipkannya kepada kita sebagai amanat. Dan sekarang Dia ingin mengambilnya kembali.''

Pagi harinya Abu Thalhah menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ''Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.'' (HR Bukhari-Muslim).

Salah satu hak dan kewajiban suami istri adalah bergaul dengan cara yang baik. Kisah di atas menjadi contoh bagaimana cara bergaul suami istri yang baik, di mana Ummu Sulaim menyambut suaminya yang datang dari bekerja dengan ramah tamah, wajah ceria, dan dengan penampilan yang menarik.

Padahal, dia masih diselimuti duka yang mendalam dengan kepergian anaknya. Dia pun memberikan contoh bagaimana cara menyampaikan kabar buruk dengan cara yang baik kepada suami.

Ummu Sulaim tidak ingin suaminya merasa kaget, stres, dan meratapi kepergian anaknya, sehingga dia menyampaikannya dengan cara diplomatis, sehingga Abu Thalhah bisa menerimanya dengan lapang dada.

Sungguh mulia sabda Rasulullah SAW, bahwa wanita salehah adalah surganyanya dunia. ''Dunia (hidup di dunia ini) adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan di dunia ini adalah istri yang salehah.'' (HR Muslim). Wallahu a'lam bish-shawab.



Sumber : Republika Online http://republika.co.id/koran/25/67409/Teladan_Ummu_Sulaim

Senin, 03 Agustus 2009

Kumpul 15 Agustus 2009 di SMANZA Balikpapan

http://www.facebook.com/home.php?ref=home#/event.php?eid=132070449713&ref=mf
Kumpul kumpul di Smanza yuk
buat yang punya account FB , konfirmasi ya....di link ini
kalau nggak ada boleh sms ke contact berikut

Angktn 1990 : ONA WAROUW - 08164596850
Angktn 1991 : WIWIEN - 05428001161

iuran entar dikasih tahu wiwin lebih lanjut...
masih dibicarakan lagi..katanya mo buat kaos