
Rating: | ★★★★ |
Category: | Other |
Di hadapanku duduk perempuan yang sudah berbulan-bulan menjadi misteri bagiku. Dan dia benar-benar di luar dugaan.
Sosoknya, perilakunya, pikiran-pikirannya, semua di luar bayanganku. Karena tak siap menghadapi figur yang benar-benar tidak pernah terselip dalam angan-anganku, akulah yang gelagapan, kehilangan kata-kata, dan jadi bisu.
Yang bisa kulakukan Cuma memandanginya dan menunggunya bicara.
“
Jangan pernah kau tinggalkan dia,” katanya, setelah menghembuskan asap rokok. Ruangan itu hampir saja pengap oleh asap rokok dan beberapa botol minuman beralkohol sempat kulihat menggelinding di kolong tempat tidur.
“
Mungkin dialah yang akan meninggalkan aku,” sahutku setengah putus asa, setengah mengakui kelemahan dan kekalahanku.
“
Dia memerlukan kamu.”
“
Tapi dia lebih bahagia berada di dekatmu.”
“
Itu hanya tampaknya, cuma seolah-olah. Tidak akan begitu kalau aku menempati posisimu.”
“
Barangkali dia menginginkan kita berdua.”
“
Kalau kau tak keberatan, aku juga tidak. Tapi jangan sekali-kali kau tinggalkan dia. Aku tidak sanggup menempati posisimu dan aku juga tidak yakin kalau hal itu yang dia inginkan.”
Perempuan itu berkata dengan nada yang penuh kepastian dan kepercayaan diri. Dia jelas menginginkan suamiku, tapi dia bersikap seolah-olah tak punya beban apa-apa kalau sekarangsuamiku meninggalkannya. Rasa marahku sudah hampir hilang, meski rasa cemburu justru makin menguat. Aku cemburu berat, sebab dia ternyata bukan perempuan biasa, bahkan sama sekali berbeda denganku.
Intuisiku tentang adanya perempuan lain dalam hidup suamiku muncul beberapa bulan yang lalu. Padahal sebelumnya, aku tahu persis bahwa kami adalah pasangan ideal yang harmonis.
Kami dikaruniai anak-anak yang manis. Kami masing-masing punya karier yang mantap di tempat kerja, dan kami memiliki beberapa kesamaan hobi.
Tiba-tiba saja kemapanan itu terusik ketika suatu malam,
saat kami bercinta, suamiku mendesahkan sebuah nama, bukan namaku. Gairahku langsung anjlog. Lalu
kami berdua tertunduk sambil termangu di keremangan kamar tidur. Masih dalam keadaan bugil bermenit-menit kami begitu, rasanya seperti berabad-abad. Agaknya kami saling menunggu siapa yang akan mulai bicara. Akhirnya aku meringkuk di kaki tempat tidur anakku, dan suamiku masih terduduk di tempat tidur sampai pagi.
Baru beberapa hari kemudian suamiku bicara.
“
Maafkan aku. Aku mencintai orang lain.”
Aku diam
“
Tapi itu bukan berarti aku tak mencintaimu lagi. Aku tetap cinta kamu, Ma.”
“
Mungkinkah itu? Mencintai dua perempuan sekaligus?”
“
Ah, seandainya kau berada dalam posisi seperti aku, kau baru akan percaya.”
“
Siapa perempuan itu?”
“
Sebaiknya kau tak perlu tahu. Aku sudah terus terang. Aku masih berharap perkawinan kita tetap terus, dan aku masih ingin terus bercinta denganmu. Tapi tentu saja kau juga boleh memiliki pendapat yang lain.”
Aku jengkel, marah, dan uring-uringan. Aku tidak tahu harus memutuskan bagaimana. Haruskah aku minta cerai saja sebab ia berselingkuh? Betapa banyak yang harus kukorbankan, termasuk anak-anak.
Aku tidak siap menjanda, dan aku amat membutuhkan dia. Membiarkannya saja? Alangkah menyakitkan! Setiap kali kami bercinta, aku akan selalu teringat perempuan lain yang juga diperlakukannya seperti itu di malam-malam yang lain.
Tanpa setahu suamiku, aku berusaha mencari tahu siapa gerangan perempuan itu. Orang akan sulit percaya kalau suamiku berselingkuh. Selain
dia terkenal alim, aku juga bukan istri yang mengecewakan. Aku cukup cantik, pandai merawat badan, selalu tampil rapi dan segar. Rajin melayani suami di meja makan dan di tempat tidur, bahkan aku bisa dibanggakan di kalangan bisnis suamiku. Dalam bayanganku,
perempuan lain itu pasti seseorang yang lebih muda dari aku, lebih seksi, lebih piawai di tempat tidur, lebih berpendidikan, atau lebih mahir dalam pengabdian dan pelayanan terhadap lelaki. Mula-mula aku mencurigai sekretarisnya, tapi setelah mendapat cukup bukti, ternyata bukan. Aku lantas mengalihkan perhatian kepada rekan-rekan bisnis yang sering dijumpainya, tapi sekali lagi aku tak bisa menemukan bukti apa-apa.
Akhirnya sasaranku kuarahkan kepada mahasiswi yang mondok di depan rumah. Tapi semua penyelidikanku gagal total sebab kecurigaanku tidak terbukti.
Kemudian aku membaca sebuah nama di koran. Nama yang terucap dari mulut suamiku secara tak sengaja di ambang orgasme malam hitam itu, nama tanpa wajah yang terus saja mengganggu benakku. Namun identitas perempuan itu semakin jelas ketika kuperhatikan suamiku - di luar kebiasannya - suka menyimak halaman budaya di koran atau seringnya dia menghadiri pameran-pameran lukisan di kota. Ternyata perempuan itu seorang seniman. Alamatnya kudapat, kemudian aku bermaksud melabraknya!
“
Sejak kapan kamu berhubungan dengan suamiku?”
“
Ketika perusahaannya ikut mensponsori pameran kami, para pelukis wanita,” katanya. Aku masih sulit memahami, a
pa yang menarik dari wanita itu. Dia lebih tua dari aku, hal itu bahkan tampak jelas dari wajahnya yang tak ber-make up. Dandanannya sederhana, bahkan terkesan seenaknya. Dia sama sekali tidak seksi. Dan rumahnya….. bagaimana aku bisa membayangkan suamiku bisa kerasan berada di tempat macam begini? Perempuan ini seperti tidak mempunyai apa pun yang dapat dibandingkan denganku.
Apakah suamiku ibarat kucing yang meski sudah diberi dendeng di rumah, tapi masih saja menyantap tulang ikan di tong sampah? Aku tak percaya. Aku selalu berpikir suami-suami yang berselingkuh itu pasti menemukan sesuatu yang bisa memenuhi dan melengkapi kekurangan-kekurangan istri mereka.
“
Apakah suamiku pernah menjanjikan sesuatu?” “
Dia Cuma bilang, dia melakukan affair ini dengan penuh kesadaran. Ketika kutanya apa maksudnya, dia bilang, dia siap resikonya. Aku juga pernah tanya, “Bagaimana seandainya isterimu tahu?” Dia menjawab, dia akan minta maaf kepadamu. Lalu apa boleh buat, keputusan ada di tanganmu. Bahkan seandainya kamu minta cerai, dia akan mengabulkan.”
Aku serasa ditempeleng. Suamiku siap kalau aku minta cerai. Dia siap mengorbankan aku, istrinya, demi perempuan jelek dan urakan ini? Aku menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Kalau kuturuti emosi, tentu sudah kutendang suamiku - demi harga diri! Tapai aku tak mau kalah begitu saja.
“
Lalu apa harapanmu sebenarnya?” tanyaku lebih lanjut.
“
Aku tak punya target apa-apa,” jawabannya enteng.
“
Apakah kamu tidak menyadari bahwa kelakuanmu merusak rumah tanggaku?”
“
Kebetulan aku di antara orang yang percaya bahwa kesetiaan pada seorang saja, seumur hidup, itu nonsense dan sama sekali tidak manusiawi. Aku juga tak percaya kau tak pernah tertari pada lelaki lain.”
Kurang ajar betul mulut perempuan itu. Kata-katanya cukup tajam tapi jalan pikirannya jelas dan tegas. Aku mengharapkan seorang gadis muda yang akan menangis sambil memohon-mohon maaf di bawah kakiku, lalu berjanji menghentikan affair-nya dengan suamiku; tapi yang kutemui justru sebuah karakter yang tahu betul apa yang dimaui dan dilakukannya.
“
Kata suamimu, kau bebas memilih hidupmu. Kalau affair kami tak membahagiakan kamu, kamu berhak mencarinya di tempat lain. Tapi kalau kamu mencintainya dan merasa bahagia bersamanya, kamu tentu harus menerima dia apa adanya; kekuatan dan kelemahannya, termasuk affair-affair-nya.”
“
Suamiku tidak pernah punya affair,” kataku keras.
“
Sekarang dia punya. Kamu harus belajar menghadapi kenyataan itu.” Lagi-lagi perempuan itu menghisap rokoknya. Bibirnya biru dan tampaknya dia tak mau repot memolesnya dengan lipstik. Akhirnya, meski sebetulnya sangat malu dan gengsi, namun karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar, aku nekat menanyakan sesuatu yang kuanggap penting.
“
Kenapa suamiku memilih kamu? Apa kira-kira kekuranganku?”
Perempuan itu menatapku agak lama. Mematikan puntung rokoknya, lalu berlagak embersihkan beberapa lukisannya yang berdebu.
“
Kamu nyaris sempurna. Kamu pintar, tampaknya. Menarik, pandai memasak, dan masih tangkas di tempat tidur. Tapi belakangan ini suamimu sepertinya kehilangan kamu. Kalian tak lagi tertawa bersama.”
“
Tertawa?” Aku keheranan mendengarkan alasan yang kesannya mengada-ada itu.
“
Ya, asal kau tahu aja. Kami banyak tertawa di rumah ini. Bahkan kami jarang sekali bercinta. Biasanya karena dia capek, atau aku yang merasa lelah. Lalu kami cuma berbaring dan saling cerita. Sudah itu kami tertawa-tawa. Kata suamimu, enak juga hidup bersama seniman.Tidak harus mandi pada pukul sekian, memenuhi janji dengan rekan bisnis, atau terburu-buru saat makan siang sebab akan ada rapat direksi. Semua itu tak ada di rumah ini. Kami senantiasa rileks. Aku suka bercerita tentang mitos-mitos Yunani kuno atau juga legenda-legenda tua, dan suamimu akan mendengarkannya sampai tertidur. Apakah enak jadi seniman, aku tak pernah membandingkannya dengan yang lain. Menjadi orang seperti kamu mungkin enak juga tapi aku belum pernah ingin menjadi yang lain.” Diam-diam aku membanding-bandingkan penampilanku dengannya. Aku masih memakai rok dan blazer eksekutif, yang umumnya dikenakan wanita pekerja keras menengah di perkotaan. Hampir-hampir tak ada debu menempel di baju atau wajahku. Sedang dia, jinsnya itu mungkin sudah seminggu tak di cuci, dan rambutnya tentu lupa disisirnya sejak pagi tadi. Setelah kuamati agak lama, perempuan itu sebetulnya manis juga. Wajahnya memang kelihatan lebih tua dari aku, tapi polos tanpa make-up, seolah mengesankan ia gadis remaja yang kekanak-kanakan. Rambutnya panjang lurus, sedang rambutku dipotong pendek model wanita karier yang mutakhir.
Jari-jarinya lentik dan kuku-kukunya pendek, badannya kecil.
Setelah mencoba memahami karakter suamiku, rasanya aku mulai melihat sesuatu dalam diri perempuan itu. Perempuan itu cerdas, hal yang disukai suamiku. Dia pernah bilang, “
Aku tak akan pernah terangsang oleh bidadari yang dungu.”Dan perempuan itu juga kelihatan menyenangkan. Rileks, barangkali itu kuncinya. Betapa hari-hari kami selalu diburu waktu, dan hidup kami diatur jadwal dan agenda kerja. Kami bahkan harus janjian untuk bisa makan malam bersama beberapa kali dalam seminggu.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya perempuan itu.
“Kau sendiri, apa yang ingin kamu kerjakan?” tanyaku berusaha menguasai situasi.
“Entahlah, aku tak pernah memprogram hidupku. Aku mengalir seperti air.” Enak saja dia bilang begitu.
“Bagaimana kalau aku minta suamiku meninggalkan kamu dan dia mau?” “Silakan saja, “ jawabnya cuek.
“Kamu tidak mencintai suamiku, kan?”
“Tergantung definisi cinta itu apa. Aku senang berada di dekatnya, tapi sesungguhnya aku tidak terlalu membutuhkannya.” “Anak-anakku membutuhkannya,” kataku tegas.
“Tidak bisakah kamu mengizinkan kami memiliki affair ini?”Aku tersenyum secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya, di balik nada suaranya yang diatur seolah-olah biasa, ternyata terbaca juga harapan dan rasa ketertarikannya pada suamiku. Dia ternyata berhati perempuan juga. Kutatap wajah perempuan itu lekat-lekat dan terbayang dalam anganku bahwa dia hidup sebagai maduku. Sulit kujawab sekarang, aku perlu waktu.
Aku pamit.
Itulah masa dua jam yang paling menegangkan dalam hidupku. Aku berhadapan dengan perempuan suamiku, dan ternyata tidak mudah. Tapi setidaknya perempuan itu bukan lagi misteri. Sekarang tinggal aku yang menentukan, apakah dia akan kuterima dalam hidup kami, atau kupaksa dia pergi, atau aku saja yang pergi.
Entahlah!
Sumber : Email dari seseorang yang bukan madu-ku
Judul asli Perempuan suamikuReminder untuk Istri dan Suami